Kitab yang tidak jelas penulisnya dan dipenuhi dengan berbagai ejekan terhadap Islam ini ternyata banyak dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah di Indonesia. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia II, misalnya, Darmagandul dimasukkan sebagai kronik atau sumber tradisi (Poesponegoro dan Notosusanto, 1992:450). Penggunaan Serat ini sebagai sebuah referensi sejarah juga dilakukan oleh Hasan Djafar dalam buku Masa Akhir Majapahit : Girindrawarddhana dan Masalahnya (2009:21).
Umumnya sumber tradisi berupa babad jarang digunakan sebagai sumber sejarah yang terpercaya. Para penggunanya sebagai referensi, biasanya berpandangan bahwa tidak menutup kemungkinan sumber babad masih menyimpan kesan peristiwa sejarah dari masa lalu, meskipun bersifat kabur (Hasan Djafar, 1992: 121). Dengan argumentasi hampir serupa, para penulis lainnya juga mengambil rujukan dari Darmagandul. Misalnya, Sisworahardjo (1953:13), Danuwiyoto (1970:59), dan lain sebagainya.
PROYEK ORIENTALIS
Jika ditelusuri dengan cermat, penerbitan Serat Darmagandul sebagai referensi sejarah ternyata tidak lepas dari proyek orientalisme Belanda. Darmagandul ditulis pada Sabtu Legi 23 Ruwah 1830 Jawa (Darmagandul (a), 1959:4) atau tepat 16 Desember 1900 M. Identitas pengarangnya masih misterius, meski sejumlah penulis telah berusaha merumuskan sejumlah teori. Misalnya, M.H. Soewarno menulis bahwa pengarang Darmagandul adalah Ranggawarsita, pujangga Keraton Surakarta (1985:10, 92). Teori ini mudah terbantah, sebab Ranggawarsita telah wafat pada 24 Desember 1873 M (Samidi Khalim,2008: 95; Anjar Any,1980:78). Philip Van Akheren, akademisi Belanda, menyatakan pengarangnya adalah seorang Kristen bernama Ngabdullah Tunggul Wulung (Hasanu Simon,2008:464) atau dikenal dengan nama baptis Ibrahim. Teori ini menjelaskan adanya pengaruh Kristen dalam Serat Darmagandul namun belum sepenuhnya bisa dianggap akurat. Tunggul Wulung dikenal cukup menghormati Islam. Dia memiliki keyakinan bahwa “Muhammad dihormati dalam Injil” (Guillot,1985:45; Yoder,1977:34-41). Sedangkan Darmagandul justru menampilkan kesan melecehkan Islam, termasuk Nabi Muhammad.
Sebagai referensi karya ilmiah, kitab ini memiliki problem. Identitas penulisnya yang tidak jelas akan berpengaruh terhadap kesahihan sumber dan otoritas pengarangnya. Dapat diketahui bahwa hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad yang telah ada sebelumnya. Kitab yang dimaksud adalah Serat Babad Kadhiri yang ditulis pada tahun 1832 M oleh M.Ng. Poerbawidjaja dan M.Ng. Mangoenwidjaja. G.W.J. Drewes, seorang orientalis Belanda, mengungkapkan bahwa Babad Kadhiri menyediakan tema utama dan ide bagi penulisan Serat Darmagandul (Drewes, 1966: 327). Hampir seluruh cerita yang ada dalam Babad Kadhiri dapat dijumpai dalam Serat Darmagandul. Demikian juga tokoh cerita seperti Buto Locaya, Kyai Combre, Sabdo Palon, Raden Patah, Sunan Benang, dan lain sebagainya. Tokoh Ki Darmagandul dalam Serat Darmagandul kuat dugaan diinspirasi oleh tokoh Ki Darmakanda dari Serat Babad Kadhiri.
Meski demikian cerita-cerita Kristen yang terdapat dalam Darmagandul, tidak terdapat dalam Babad Kadhiri. Drewes mengungkapkan bahwa pengarang Darmagandul telah memoles karyanya agar tidak spesifik sama dengan kitab induk yang menginspirasinya (Drewes, 1966:327). Jadi, pemikiran Kristen dan misi penginjilan dalam Darmagandul adalah murni pemikiran dari pengarangnya yang telah terpengaruh ajaran Kristen.
Dari sisi metodologi penulisan, Serat Darmagandul sebagai karya derivatif dari Babad Kadhiri yang tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Penyebabnya, Babad Kadhiri tidak dapat dikatakan murni sebagai sumber tradisi yang didasarkan kepada tradisi lesan. Mangoenwidjaja, salah satu pengarang babad ini, mengakui bahwa karyanya merupakan cerita pedalangan yang bersifat fiktif dan berbeda dengan sumber lainnya (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 1932:88). Pengarang Babad Kadhiri juga menyatakan bahwa karyanya dibuat berdasarkan perintah dari pejabat Belanda. Ide penulisannya diambil dari hasil ritual pemanggilan makhluk halus. Pengarang menyebutkan bahwa melalui sebuah ritual tertentu maka jin bernama Kyai Buto Locaya dipanggil untuk masuk ke tubuh seorang medium, setelah medium “kerasukan” lantas di-”wawancarai”, dan hasilnya dicatat dalam narasi yang kemudian dikenal sebagai “Serat Babad Kadhiri” (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 1932:5-7). Produk dari cara penulisan demikian, jelas sulit diterima sebagai bentuk referensi sejarah. Sedangkan Serat Darmagandul banyak mengadopsi substansi dari bacaan sumbernya, Babad Kadhiri. Maka Serat Darmagandul tidak seharusnya digunakan sebagai rujukan, sebab akurasi dan otoritasnya sulit diverifikasi.
Serat Darmagandul memang memiliki ciri yang kental dengan semangat anti-Islam, pro-Kristen, dan pro-penjajah Belanda. Sikap anti-Islam ditujukkan misalnya, kitab Arab (Al Quran) harus ditinggalkan dan diganti Kitab Nabi Isa (Injil) (Darmagandul (b),1955:6). Sedang sikap pro-Kristen terungkap dengan diangkatnya cerita Dawud-Absalom, Dawud-Uria, pohon pengetahuan, dan sejenisnya yang bersumber dari Perjanjian Lama serta mendukung misi Injil di Jawa (Darmagandul (a),1959:49). Dukungannya terhadap penjajah ditunjukkan dengan pujian bahwa Belanda yang beragama Kristen adalah penyembah Tuhan yang benar dan lurus pengetahuannya (Darmagandul (b), 1955:102).
Mencermati bahwa Babad Kadhiri merupakan produk dari proyek penjajah, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Serat Darmagandul adalah kelanjutan langkah Belanda dalam menjinakkan perlawanan Islam. Pada sekitar 1900-an politik Belanda banyak diarahkan untuk mengantisipasi kekuatan Islam yang dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial (Steenbrink, 1984:241-242). Kebijakannya dilakukan dengan kristenisasi dan pemunculan apa yang disebut sebagai “kaum adat” (Benda, 1980:40-46). Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sekedar bermotif ekonomi, beberapa kasus menunjukkan bahwa imperialisme Belanda adalah manifestasi idealisme yang bersifat politik dan agama (Kartodirdjo,1999:4-5).
Jadi, substansi Serat Darmagandul lahir dan sejalan dengan kepentingan kolonialis. Penyusunan isinya yang problematik membuktikan bahwa kitab ini tidak dapat dijadikan sebagai sumber rujukan, termasuk dalam menjelaskan keruntuhan Majapahit. Darmagandul membuktikan, bahwa bahwa kolonialisme dan orientalisme adalah dua sisi berbeda dari mata uang yang sama. (***). Susiyanto (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI))
Umumnya sumber tradisi berupa babad jarang digunakan sebagai sumber sejarah yang terpercaya. Para penggunanya sebagai referensi, biasanya berpandangan bahwa tidak menutup kemungkinan sumber babad masih menyimpan kesan peristiwa sejarah dari masa lalu, meskipun bersifat kabur (Hasan Djafar, 1992: 121). Dengan argumentasi hampir serupa, para penulis lainnya juga mengambil rujukan dari Darmagandul. Misalnya, Sisworahardjo (1953:13), Danuwiyoto (1970:59), dan lain sebagainya.
PROYEK ORIENTALIS
Jika ditelusuri dengan cermat, penerbitan Serat Darmagandul sebagai referensi sejarah ternyata tidak lepas dari proyek orientalisme Belanda. Darmagandul ditulis pada Sabtu Legi 23 Ruwah 1830 Jawa (Darmagandul (a), 1959:4) atau tepat 16 Desember 1900 M. Identitas pengarangnya masih misterius, meski sejumlah penulis telah berusaha merumuskan sejumlah teori. Misalnya, M.H. Soewarno menulis bahwa pengarang Darmagandul adalah Ranggawarsita, pujangga Keraton Surakarta (1985:10, 92). Teori ini mudah terbantah, sebab Ranggawarsita telah wafat pada 24 Desember 1873 M (Samidi Khalim,2008: 95; Anjar Any,1980:78). Philip Van Akheren, akademisi Belanda, menyatakan pengarangnya adalah seorang Kristen bernama Ngabdullah Tunggul Wulung (Hasanu Simon,2008:464) atau dikenal dengan nama baptis Ibrahim. Teori ini menjelaskan adanya pengaruh Kristen dalam Serat Darmagandul namun belum sepenuhnya bisa dianggap akurat. Tunggul Wulung dikenal cukup menghormati Islam. Dia memiliki keyakinan bahwa “Muhammad dihormati dalam Injil” (Guillot,1985:45; Yoder,1977:34-41). Sedangkan Darmagandul justru menampilkan kesan melecehkan Islam, termasuk Nabi Muhammad.
Sebagai referensi karya ilmiah, kitab ini memiliki problem. Identitas penulisnya yang tidak jelas akan berpengaruh terhadap kesahihan sumber dan otoritas pengarangnya. Dapat diketahui bahwa hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad yang telah ada sebelumnya. Kitab yang dimaksud adalah Serat Babad Kadhiri yang ditulis pada tahun 1832 M oleh M.Ng. Poerbawidjaja dan M.Ng. Mangoenwidjaja. G.W.J. Drewes, seorang orientalis Belanda, mengungkapkan bahwa Babad Kadhiri menyediakan tema utama dan ide bagi penulisan Serat Darmagandul (Drewes, 1966: 327). Hampir seluruh cerita yang ada dalam Babad Kadhiri dapat dijumpai dalam Serat Darmagandul. Demikian juga tokoh cerita seperti Buto Locaya, Kyai Combre, Sabdo Palon, Raden Patah, Sunan Benang, dan lain sebagainya. Tokoh Ki Darmagandul dalam Serat Darmagandul kuat dugaan diinspirasi oleh tokoh Ki Darmakanda dari Serat Babad Kadhiri.
Meski demikian cerita-cerita Kristen yang terdapat dalam Darmagandul, tidak terdapat dalam Babad Kadhiri. Drewes mengungkapkan bahwa pengarang Darmagandul telah memoles karyanya agar tidak spesifik sama dengan kitab induk yang menginspirasinya (Drewes, 1966:327). Jadi, pemikiran Kristen dan misi penginjilan dalam Darmagandul adalah murni pemikiran dari pengarangnya yang telah terpengaruh ajaran Kristen.
Dari sisi metodologi penulisan, Serat Darmagandul sebagai karya derivatif dari Babad Kadhiri yang tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Penyebabnya, Babad Kadhiri tidak dapat dikatakan murni sebagai sumber tradisi yang didasarkan kepada tradisi lesan. Mangoenwidjaja, salah satu pengarang babad ini, mengakui bahwa karyanya merupakan cerita pedalangan yang bersifat fiktif dan berbeda dengan sumber lainnya (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 1932:88). Pengarang Babad Kadhiri juga menyatakan bahwa karyanya dibuat berdasarkan perintah dari pejabat Belanda. Ide penulisannya diambil dari hasil ritual pemanggilan makhluk halus. Pengarang menyebutkan bahwa melalui sebuah ritual tertentu maka jin bernama Kyai Buto Locaya dipanggil untuk masuk ke tubuh seorang medium, setelah medium “kerasukan” lantas di-”wawancarai”, dan hasilnya dicatat dalam narasi yang kemudian dikenal sebagai “Serat Babad Kadhiri” (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 1932:5-7). Produk dari cara penulisan demikian, jelas sulit diterima sebagai bentuk referensi sejarah. Sedangkan Serat Darmagandul banyak mengadopsi substansi dari bacaan sumbernya, Babad Kadhiri. Maka Serat Darmagandul tidak seharusnya digunakan sebagai rujukan, sebab akurasi dan otoritasnya sulit diverifikasi.
Serat Darmagandul memang memiliki ciri yang kental dengan semangat anti-Islam, pro-Kristen, dan pro-penjajah Belanda. Sikap anti-Islam ditujukkan misalnya, kitab Arab (Al Quran) harus ditinggalkan dan diganti Kitab Nabi Isa (Injil) (Darmagandul (b),1955:6). Sedang sikap pro-Kristen terungkap dengan diangkatnya cerita Dawud-Absalom, Dawud-Uria, pohon pengetahuan, dan sejenisnya yang bersumber dari Perjanjian Lama serta mendukung misi Injil di Jawa (Darmagandul (a),1959:49). Dukungannya terhadap penjajah ditunjukkan dengan pujian bahwa Belanda yang beragama Kristen adalah penyembah Tuhan yang benar dan lurus pengetahuannya (Darmagandul (b), 1955:102).
Mencermati bahwa Babad Kadhiri merupakan produk dari proyek penjajah, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Serat Darmagandul adalah kelanjutan langkah Belanda dalam menjinakkan perlawanan Islam. Pada sekitar 1900-an politik Belanda banyak diarahkan untuk mengantisipasi kekuatan Islam yang dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial (Steenbrink, 1984:241-242). Kebijakannya dilakukan dengan kristenisasi dan pemunculan apa yang disebut sebagai “kaum adat” (Benda, 1980:40-46). Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sekedar bermotif ekonomi, beberapa kasus menunjukkan bahwa imperialisme Belanda adalah manifestasi idealisme yang bersifat politik dan agama (Kartodirdjo,1999:4-5).
Jadi, substansi Serat Darmagandul lahir dan sejalan dengan kepentingan kolonialis. Penyusunan isinya yang problematik membuktikan bahwa kitab ini tidak dapat dijadikan sebagai sumber rujukan, termasuk dalam menjelaskan keruntuhan Majapahit. Darmagandul membuktikan, bahwa bahwa kolonialisme dan orientalisme adalah dua sisi berbeda dari mata uang yang sama. (***). Susiyanto (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar