Berbagai usaha telah dilakukan oleh sejumlah tokoh Kristen dalam usahanya untuk mendekati kebudayaan Jawa. Upaya ini merupakan salah satu usaha untuk mencari titik temu antara Jawa dan Kristen. Simpul-simpul yang dianggap sebagai “benang merah” pertemuan kedua entitas tersebut akan dianggap sebagai entry point bagi para misionaris untuk merumuskan penginjilan bagi orang Jawa. Jadi upaya-upaya tersebut bukannya murni pendekatan yang bersifat akademis, melainkan berbalut misi dan kepentingan penyebaran agama kepada umat yang telah beragama.
Di kalangan orientalis misalnya kita menemukan nama Hendrik Kraemer (1888-1965). Ia memperoleh gelar doktor tahun 1921 atas dasar studi teks Islam berbahasa Jawa. Tahun yang sama dikirim oleh Perkumpulan Bibel Belanda yang bergerak untuk misi penginjilan ke Jawa. Ia juga bertugas merevisi terjemahan Bible Bahasa Jawa, mempelajari kecenderungan intelektual muda di Indonesia terutama Jawa, dan mengamati perkembangan Islam.[1] Di Jawa Kraemer sengaja berusaha memisahkan antara ‘Kejawen’ dan Islam serta menentang eksistensi Islam melalui kuliah-kuliah yang diberikannya. Di satu pihak ia melakukan pembelaan terhadap “Jawa” dengan memisahkan konsep-konsep “Jawa” tersebut sebagai entitas yang bebas dari Islam. Bukan perasaan simpati terhadap ‘Kejawen’ yang membawanya kepada pilihan ini, melainkan didorong oleh sulitnya menundukkan Muslimin yang lebih ortodoks kepada misi penginjilan. Kraemer menggambarkan kesulitan ini sebagai berikut:” Islam sebagai problem bagi misi: tidak ada agama selain Islam yang untuknya misi bekerja banting tulang tanpa hasil dan padanya misi menggarukkan jarinya sampai berdarah dan koyak”.[2]
Philip Van Akkeren, orientalis dan misionaris yang lain, juga bergerak dalam kancah yang sama. Ia berupaya menarik kesimpulan bahwa pandangan Jawa sangat menekankan adanya konsep mesianisme. Manusia Jawa, menurut Van Akkeren, memiliki pengharapan yang besar terhadap manifestasi keselamatan yang ditawarkan oleh sosok “ratu adil”. Konsep ratu adil ini kemudian dihubungkan dengan konsep Yesus sebagai Juru Selamat. Konklusinya, Jawa menurut Van Akkeren membutuhkan pertemuan dengan ajaran Kristen. Untuk membuktikan teorinya itu Van Akkeren berargumentasi dengan bentuk pemujaan para petani Jawa era lampau terhadap tokoh Dewi Sri dan Bambang Sadhana yang dikenali sebagai pasangan pelindung padi. Melalui ritus pemujaan Sri-Sadana ini, Van Akkeren menilai bahwa penanaman padi bagi orang Jawa merupakan sebuah ritual ibadah keagamaan, satu bentuk persekutuan, sekaligus persatuan antara sosok ilahi dan sosok manusiawi yang dianggapnya sejajar dengan kehidupan Yesus.[3] Rupanya Van Akkeren melupakan bahwa konsep Sri-Sadana lebih lebih merupakan representasi pandangan yang bersifat mirip dengan hieros-gamos, bukan seperti kehidupan Yesus yang melakukan praktik celibasy sebagaimana konsep Kristen. Keduanya adalah konsep yang sama sekali sangat berbeda secara diametral. Sehingga wacana titik temu antara Jawa dan Kristen yang hendak ketengahkan kepada pembaca, sebenarnya tidak lebih dari sekedar mengada-ada.
Belakangan ini terdapat juga tokoh Kristen yang berusaha menghidupkan kembali teori “perjumpaan” tersebut. Tokoh tersebut adalah Bambang Noorsena, tokoh Kanisah Orthodoks Syiria atau juga dikenal sebagai Kristen Orthodoks Syria (KOS). Buku Bambang Noorsena tersebut rupanya juga sangat bergantung pada pemikiran orientalis Philips Van Akkeren, bukan sekedar sebagai referensi namun menjadi bagian dari kerangka utama pembahasannya. Ia memulai bukunya “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen” dengan pernyataan bahwa iman Kristen seharusnya selalu dihayati dalam konteks pengalaman budaya yang konkret. Injil, menurut Noorsena, juga bukan disampaikan di tempat yang hampa budaya. Konklusinya, selalu ada interaksi antara iman dan kebudayaan.[4]
Pendapat Bambang Noorsena ini sejalan dengan pandangan DR. Harun Hadiwijono, akademisi Kristen, ketika berusaha merumuskan perbedaan definisi antara iman Kristen dan agama Kristen. Menurut Hadiwijono, interaksi iman Kristen dan jawaban manusia terhadap iman itu dalam lingkup adat istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia akan menghasilkan apa yang disebut sebagai Agama Kristen. Dengan demikian, Harun Hadiwijono menyimpulkan bahwa Agama Kristen sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia,[5] terutama sepanjang perjalanan sejarah pembentukan ajarannya.
Pandangan Noorsena bahwa Injil bukan disampaikan dalam suatu tempat yang hampa budaya, juga ada benarnya jika dirujukkan pada sejarah pembentukan kitab Injil. Injil telah mengalami sejarah yang cukup panjang hingga proses pengumpulannya. Kitab ini baru ditulis dan dihimpun pada masa jauh setelah kehidupan Yesus. Bahkan boleh dikatakan bahwa baru ditulis setelah jamaah Kristen mula-mula muncul. Karangan-karangan yang membentuk Perjanjian Baru tidak serta merta dikenal dan diterima umat Kristen sebagai kitab suci.[6]
Penulis karangan-karangan dalam Injil tersebut umumnya tidak pernah diketahui secara pasti identitasnya. Maka tidak mengherankan jika Bambang Noorsena mengungkapkan “proses kebingungan” para ahli tentang Perjanjian Baru, misal pernyataan dalam footnote bukunya bahwa Surat Ibrani awalnya diduga ditulis oleh Rasul Paulus, tetapi para ahli pada masa sekarang ini telah meninggalkan pendapat itu dan menyetujui bahwa surat ini ditulis oleh orang lain yang mempunyai latar belakang Yahudi.[7] Dengan mencermati proses penulisan dan pengumpulan serta penetapannya sebagai kitab suci maka tidak ragu lagi bahwa Injil merupakan kitab yang tidak bisa tidak sulit dilepaskan dari suatu kebudayaan yang melingkupinya.
Contoh lain yang membuktikan hal ini terkait pemunculan dalil trinitas dalam Perjanjian Baru, kitab umat Kristen. DR. C. Groenen OFM, seorang teolog Kristen (Katholik), mengungkapkan bahwa dalil mengenai trinitas merupakan ayat-ayat yang ditambahkan kemudian pada abad IV M setelah umat Kristen mengalami perdebatan panjang seputar eksistensi trinitas.[8] Jadi merupakan sebuah hal yang baru dan bukannya final sejak masa Yesus. Dengan demikian hal ini juga membuktikan bahwa Agama Kristen merupakan agama sejarah yang terbentuk melalui proses sejarah yang panjang dan lama, termasuk dalam diskursus pembentukan basic ketuhanannya. Oleh karena itulah maka juga dapat disebut sebagai agama budaya.
Bermula dari cara pandang bahwa iman dan pekabaran Injil harus bersentuhan dengan persoalan kebudayaan inilah, rupanya Bambang Noorsena bermaksud mengkaji persoalan kejawen dalam perjumpaannya dengan iman Kristen. Sejumlah konsepsi hidup orang Jawa hendak dikaji dengan menggunakan cara pandang Kristiani yang menjadi keyakinannya. Diharapkan hasil kajiannya tersebut akan menjadi sebuah rekomendasi bagi penginjilan di tanah Jawa. Termasuk bahwa manusia Jawa sebenarnya mengharapkan kedatangan sosok mesianis ratu adil, yang dalam bahasa Noorsena hanya bisa dipenuhi dengan kedatangan Yesus.[9] Terkait hal ini nampaknya Bambang Noorsena sangat bergantung pada ide dari Van Akkeren.
Tulisan ini akan mencoba mengupas salah satu pandangan Bambang Noorsena terutama terkait dengan salah satu mitologi yang dianggap sebagai “identitas Jawa” yaitu tentang kisah Aji Saka. Dalam tulisan ini akan diungkapkan upaya manipulatif yang dilakukan oleh tokoh KOS tersebut dalam upayanya untuk menemukan “perjumpaan” antara Kejawen dan Kristen. Tentu saja, apa yang akan penulis bahas hanya terbatas sebagai sebuah bentuk pencermatan dan apresiasi terhadap suatu karya sastra belaka. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan hal ini akan bermanfaat untuk menelusur jati diri Jawa yang sesungguhnya yaitu Islam.
MANIPULASI AJI SAKA VERSI TOKOH KOS
Dalam kajian Sejarah, pengenalan terhadap tulisan seringkali dianggap menandai dimulainya era Sejarah. Dengan kata lain awal sejarah ditandai dengan adanya tulisan. Babak baru pengenalan aksara Jawa seringkali dihubungkan dengan legenda tentang Aji Saka. Dalam cerita oral yang berkembang di masyarakat Aji Saka digambarkan merupakan sosok pendatang yang berasal dari India dan kemudian menciptakan aksara Jawa. Tokoh Aji Saka sendiri dalam sejumlah cerita babad kemudian digambarkan seolah-olah merupakan sosok historis yang menghasung nilai-nilai Jawa. Terkait mitologi Aji Saka ini, rupanya Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria juga hendak mengambil peran untuk menunjukkan bahwa Kejawen dan Kristen memiliki titik temu pada tokoh Aji Saka. Bambang Noorsena, tokoh Kristen Ortodoks Syria, menyebutkan bahwa Aji Saka pernah berpindah agama menjadi Kristen. Menurut Noorsena, Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa dalam karyanya Serat Paramayoga, telah menempatkan Aji Saka sebagai umat Yesus Kristus sehingga mencapai kesempurnaan budi.[10] Nampaknya Noorsena menilai bahwa kisah Aji Saka tersebut merupakan salah satu wujud atau bukti bahwa Kristen dan Kejawen memiliki sebuah titik temu.
Dalam kisah “Aji Saka” diceritakan bahwa Kerajaan Medang Kamulan di Pulau Jawa pernah diperintah oleh seorang raja lalim bernama Prabu Dewata Cengkar. Raja ini memiliki kegemaran memakan daging manusia dengan mencampurkannya ke dalam masakan yang dihidangkan. Kegemaran Sang Raja tersebut sudah tentu berefek buruk kepada rakyatnya yang perlahan-lahan menyusut akibat dimangsa olehnya. Sampai kemudian datanglah seorang pemuda dari India bernama Aji Saka yang diiringkan oleh 2 (dua) orang pembantunya yaitu Dora dan Sembada. Sebelum sampai di tanah Jawa, ketiga orang tersebut sempat singgah di Pulau Majeti. Syahdan salah satu dari pembantunya tersebut kemudian disuruh tinggal di Pulau Majeti dan diberi tugas untuk menjaga keris milik Aji Saka. Keris yang ditinggalkan harus dijaga dan dirawat dengan benar dan tidak boleh diserahkan kepada siapa pun selain kepada Aji Saka, pemiliknya sendiri. Maka berangkatlah kemudian Aji Saka ke Tanah Jawa hanya dengan disertai salah satu ajudannya. Sesampainya di Medang Kamulan, sang Aji Saka kemudian berurusan dengan raja Jawa, Prabu Dewata Cengkar. Tersebutlah bahwa kemudian Dewata Cengkar berhasil dikalahkan dan Aji Saka menggantikannya sebagai raja Jawa di Medang Kamulan.
Kisah tidak hanya berhenti sampai di sini. Aji Saka kemudian mengutus pembantunya untuk mengambil keris yang dititipkan kepada pembantunya yang lain di Pulau Majeti. Rupanya Aji Saka telah lupa akan perintahnya bahwa keris tersebut harus dirinya sendiri yang mengambilnya. Akibatnya kedua pembantunya kemudian terlibat sengketa yang berujung kepada tewasnya kedua belah pihak. Aji Saka kemudian memperingati tewasnya kedua orang pembantu dekatnya dengan menciptakan aksara Jawa yang terdiri dari 20 aksara sebagai berikut:
Ha na ca ra ka = ada utusan
Da ta sa wa la = mereka bertengkar
Pa da ja ya nya = sama-sama kuatnya
Ma ga ba tha nga = akhirnya mati (menjadi bangkai)
Kisah Aji Saka di atas bagi sebagian besar kalangan orang Jawa sering dianggap sebagai salah satu unsur dalam pembentukan identitas orang Jawa. Kisah ini telah melegenda bagi masyarakat Jawa dan sering dianggap sebagai kisah historis. Dalam hal ini mitos Aji Saka ditempatkan sebagai penjelasan adanya proses Indianisasi di Tanah Jawa dan sekaligus pembudayaan orang Jawa dengan mengenal bentuk tulisan baru. Pada perkembangan selanjutnya kisah Aji Saka ini seolah telah menjadi jiwa Jawa itu sendiri.
Kenyataan bahwa kisah Aji Saka telah merasuk menjadi bagian dari jati diri Jawa, hakikatnya merupakan sebuah bentuk keanehan dan penyimpangan. Menurut DR. Andrik Purwasito, kisah Aji Saka ini sebenarnya merupakan produk imajinatif karya Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam cerita ini dapat dijelaskan sejumlah kepentingan bersifat hegemonik dari penjajahan atas bangsa Indonesia. Dalam penelitiannya yang telah dibukukan “Imajeri India, Studi Tanda dalam Wacana” menjelaskan bahwa melalui wacana Aji Saka, Belanda tidak saja berhasil menjelaskan terjadinya Indianisasi (faktor India) yang telah merasuk ke dalam kebudayaan Jawa. Melainkan juga berhasil membangun dunia imajiner bangsa Indonesia. Publikasi dunia imaji India tersebut terus dilakukan oleh para peneliti Belanda, dengan menempatkan India sebagai bangsa superior berhadap-hadapan dengan bangsa Jawa yang inferior. Wacana Aji Saka dikembangkan oleh Belanda dengan menempatkan penduduk pribumi di Nusantara sebagai bangsa terjajah, primitif, biadab, dan tidak berbudaya berhadapan dengan India yang telah memiliki budaya lebih tinggi.[11] Andrik Purwasito menegaskan bahwa wacana ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar dunia imajiner belaka.
Pada perkembangan selanjutnya cerita tentang tokoh Aji Saka tersebut mengalami rancang ulang sehingga tidak lagi menjadi sosok India yang ‘menjajah’ Jawa. Jawa sendiri menjadi lebih sukar untuk ditaklukkan kepentingan Belanda yang bersifat hegemonik tersebut. Sejumlah karya sastra telah menghidupkan Aji Saka dalam kepentingan-kepentingan yang lebih baru. Dengan mencermati pendapat DR. Andrik Purwasito lebih lanjut terhadap proses masuknya Aji Saka ke dalam kancah kesusastraan Jawa, maka fenomena masuknya Aji Saka menjadi Kristen adalah hal yang wajar. Sebab, awalnya sosok “Aji Saka” merupakan alat hegemoni Belanda yang dalam segi spriritualitas merupakan perwujudan adari apa yang disebut Bambang Noorsena sebagai Kristen Londo.[12] Boleh dikatakan bahwa sebenarnya Aji Saka adalah seorang “Kristen” yang menyaru atau menyamar sebagai orang “India” dengan misi untuk ‘membudayakan’ Jawa atau dengan kata lain merupakan proses penaklukan.
Namun demikian, perubahan terhadap kisah Aji Saka selanjutnya tidak selalu memperlihatkan sikap yang demikian lagi. Kisah Nabi Isa yang ada dalam serat karya Ranggawarsita lebih banyak dibentuk oleh inspirasi konsep-konsep dari Islam, bukannya dari Kristen. Oleh karena itu konsep yang digunakan dalam menggambarkan Nabi Isa juga merupakan konsep Islam, bukan konsep Kristen. Bahkan Noorsena sendiri nampaknya, dengan mengutip pendapat Van Akkeren, mengakui bahwa Aji Saka, dalam cerita tersebut, akhirnya justru masuk Islam dan menjadi salah satu sahabat Nabi Muhammad saw.[13]
Jika diamati dalam buku Philip Van Akkeren, yang dikutip oleh Bambang Noorsena, tersebut justru menyebutkan bahwa dalam karya Ranggawarsita diceritakan bahwa ketika Aji Saka berguru pada Ngusman Ngaji, sang guru tersebut berpesan kepada Aji Saka (nama lainnya dalam cerita: Jaka Sengkala) agar selalu melayani Tuhan dengan jalan mengabdi dan mengikuti ajaran Nabi Terakhir yang akan dilahirkan di Makkah, yaitu Nabi Muhammad saw, bukan menjadi pengikut atau sahabat Nabi Isa. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Van Akkeren sebagai berikut:
“One day Sengkala asks his spiritual leader to become one of the closer companions of the prophet Isa, in order to increase the peace in his heart. The priest answers: ‘This is cannot allow, because then you would have to devote yourself entirely to the service of the Lord, but that is not your vocation. Providence has intended a long cereer for you. It is intended that you shall populate the long island of Java which lies to the south-east of India. Do not forget my prophecy. Later there will be another prophet from God, the last one, who shall be unequalled, namely Muhammad, the Mesengger of God, who has been given the Light of the world and who will be created in Mecca. You will be his close companion (sahabat).’”[14]
(“Suatu hari Sengkala (=Aji Saka) meminta pemimpin spiritualnya untuk menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi Isa, untuk meningkatkan kedamaian dalam hatinya. Sang Imam menjawab: ‘Hal ini tidak dapat kuijinkan, sebab engkau kelak harus mengabdikan dirimu sepenuhnya bagi pelayanan Tuhan, tetapi itu bukan panggilanmu. Takdir menghendaki engkau menempuh karir yang panjang. Telah ditentukan bahwa engkau akan menghuni Pulau Jawa yang panjang, yang terletak di sebelah tenggara India. Jangan engkau melupakan nubuatan ini. Dikemudian hari akan ada nabi lain dari Allah, yang terakhir, yang tidak ada bandingannya, bernama Muhammad, utusan Allah, yang telah memberi cahaya bagi dunia dan dilahirkan di Makkah. Engkau akan menjadi sahabat dekatnya”).
Dengan demikian, perjalanan Jaka Sengkala atau Aji Saka tersebut bersentuhan dengan Dewa Wisnu, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, sebenarnya merupakan sebuah kronologi yang diciptakan oleh Ranggawarsita untuk menunjukkan perjalanan hidup Aji Saka sampai pada akhirnya memeluk agama Islam. Pencarian ilmunya yang dilakukan dengan Nabi Isa, bukan menunjukkan bahwa Aji Saka adalah seorang Kristen. Sebab penggambaran sosok Nabi Isa yang digunakan dalam cerita tersebut secara kuat lebih banyak terinspirasi oleh konsep Islam.
Pernyataan Philip Van Akkeren yang kemudian dikutip oleh Noorsena bahwa Ranggawarsita menyisihkan simpati yang besar bagi Kristus[15] (dalam hal ini berhubungan dengan konsep kekristenan) adalah statemen yang menyesatkan. Statemen tersebut didasarkan pada kedekatan hubungan yang terjalin antara Isa dengan Aji Saka. Jika diamati kronologis kisah pertemuan antara Nabi Isa dan Aji Saka dalam karya sastra itu terjadi sebelum masa kelahiran Nabi Muhammad. Jadi, mau tidak mau dia harus bersentuhan dulu dengan ajaran Nabi Isa, salah seorang rasul dalam ajaran Islam, sambil menanti masa kedatangan nabi akhir zaman (Muhammad saw) sebagaimana pesan yang sudah diterima dari gurunya (Ngusman Ngaji). Ranggawarsita sendiri bahkan menggambarkan bahwa Nabi Isa ternyata tidak memiliki kekuatan supernatural yang cukup ampuh. Diceritakan bahwa suatu ketika murid-murid Nabi Isa mendesak beliau untuk membuat burung merpati dari tanah liat yang mengandung gas beracun. Merpati itu kemudian memanggil para Dewa di India untuk menghadap Nabi Isa. Para dewa kemudian menyerang merpati itu namun kalah karena sang merpati digambarkan menggunakan gas beracun yang dimilikinya. Para Dewa yang kalah kemudian melarikan diri ke Jawa. Merpati itu kemudian mengejar para Dewa. Namun pengejaran sang merpati kemudian berakhir karena “ciptaan Isa” tersebut bisa ditembak jatuh oleh Dewa Wisnu di atas pulau Sumatra. Lantas digambarkan bahwa kemudian para Dewa kembali ke India lagi.[16]
Harus dipahami pula bahwa mitologi Aji Saka dalam versi Ranggawarsita tersebut bukan merupakan akhir dari seluruh kisah. R. Tanaya, misalnya seorang pujangga Jawa yang juga banyak memperkenalkan ulang karya-karya Ranggawarsita, justru mengubah versi Aji Saka bukan lagi berasal dari India melainkan tokoh cerita yang berasal dari Arab yang sebelumnya bernama Jaka Sengkala. Hadirnya versi ini menunjukkan bahwa wacana Aji Saka merupakan bagian dari proses transfomasi penting dalam rangka pembudayaan Jawa. Dalam proses pembudayaan tersebut diceritakan bahwa sebelumnya seorang Sultan dari Timur Tengah bernama Sultan Algabah menerima petunjuk agar membudayakan bumi Jawa. Maka sang sultan kemudian mengutus Aji Saka atau Jaka Sengkala untuk memimpin rombongan beranggotakan 20.000 orang. Namun rombongan tersebut kemudian banyak yang mati akibat wabah penyakit dan hanya tersisa beberapa ratus orang saja yang kemudian kembali ke negara asalnya. Maka kemudian Aji Saka diceritakan memimpin kembali ekspedisi kedua yang didampingi oleh Patih Amiru Syamsu. Misi kedua ini nampaknya berhasil. Kemudian Sultan Algabah melanjutkan dengan ekspedisi ketiga untuk membudayakan Jawa di bawah pimpinan Said Jamhur Muharram yang langsung menuju ke Kediri, Jawa Timur.[17] DR. Ismail Hamid, pakar sastra di University Kebangsaan Malaysia, menggarisbawahi bahwa dalam Serat Aji Saka Angajawi bahkan diperoleh gambaran tentang Aji Saka sebagai pengikut Nabi Muhammad saw yang datang dari Makkah dan berangkat ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Agama Islam.[18]
Keberadaan cerita di atas menunjukkan bahwa proses-proses untuk menghegemoni Jawa dengan memperkenalkan mitos syarat kepentingan, sebagaimana dilakukan oleh Belanda, tidak selalu akan berhasil. Justru dalam karya sastra Jawa kemudian muncul sebuah ‘perlawanan’ dari dalam. Wujud perlawanan tersebut menempatkan Arab yang identik dengan Islam sebagai simbol pembudayaan tanah Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah sedemikian lekat di hati orang Jawa. Cerita Aji Saka yang pada awalnya digunakan sebagai alat untuk mengukuhkan teori Indianisasi, pada akhirnya justru mengalami Jawanisasi. Proses Jawanisasi yang berlangsung tersebut tidak lain adalah proses Islamisasi. Sehingga tidak salah jika diungkapkan bahwa jiwa Jawa adalah Islam.
Pengungkapan mitologi yang dilakukan oleh Bambang Noorsena bukan saja tidak mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan harapannya, namun juga kurang lengkap dan tidak tuntas. Bambang Noorsena hanya berhenti pada kisah mitosnya saja, sebab hal itu dimungkinkan memberikan “keuntungan” dengan pendekatan yang dilakukannya. Padahal inti sebenarnya dari mitos tersebut justru terletak pada Aksara Jawa yang dalam mitologi tersebut dianggap sebagai ciptaan sang Aji Saka. Di atas telah disebutkan bahwa Aksara Jawa “yang diciptakan” Aji Saka berjumlah 20 buah, karena disesuaikan dengan kerangka mitologi yang diciptakan. Namun menurut Zoetmulder yang dikutip oleh Hadiwaratama, jika dihitung sebenarnya aksara Jawa jumlahnya lebih dari 50 buah.[19]
Diantara aksara yang berjumlah lebih dari 50 buah tersebut terdapat kumpulan huruf yang disebut sebagai Aksara Rekan. Aksara Rekan yaitu huruf yang digunakan untuk menulis kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Huruf yang disebut Aksara Rekan tersebut antara lain adalah kha, dza, fa, za, dan gha.[20] Dengan menggunakan huruf-huruf tersebut maka aksara Jawa dapat dengan mudah digunakan untuk menuliskan istilah-istilah yang berasal dari konsep Islam seperti khabar, faham, zakat, dzikir, ghanimah, dan lain sebagainya.
Penyesuaian yang dilakukan Aksara Jawa untuk bisa menerima sejumlah pelafalan yang ada dalam huruf Arab ini menunjukkan, bahwa manusia Jawa pada dasarnya bisa dan siap menerima Islam lengkap dengan sejumlah terminologi yang dimilikinya. Kalangan orientalis penganut “teori pengaruh” yang menganggap bahwa Islam di Jawa telah mengalami “penundukan” oleh konsep–konsep Jawa pra-Islam, tentu akan mengalami kebuntuan ketika menghadapi fenomena ini. Bambang Noorsena juga tidak bisa menyatakan bahwa hal ini merupakan bukti bahwa Islam ketika berada di Jawa sebelumnya telah terpengaruh oleh ajaran Hindhu dan Budha. Jelas-jelas, perkembangan aksara Jawa ini menunjukkan proses keberterimaan Jawa terhadap Islam.
Jika teori Aji Saka di atas masih hendak dipaksakan sebagai titik temu antara Kejawen dan Kristen, maka mestinya juga terjadi sebuah konsekuensi logis terhadap aksara Jawa. Misalnya saja, aksara Jawa kemudian bisa secara tepat digunakan untuk menuliskan sejumlah istilah-istilah dari Barat atau nama-nama yang berhubungan dengan ajaran Kristen. Sebut saja misalnya kata-kata Christ, Xaverius, Ximenes, Jehovah, Vatican, dan lain sebagainya ternyata tidak dapat ditulis dengan tepat dalam aksara Jawa. Seandainya tetap dipaksakan ditulis sekalipun, maka kata-kata tersebut hurufnya akan “ditundukkan” dan luluh mengikuti aturan penulisan Aksara Jawa. Lebih jelasnya, kedatangan Kristen di nusantara sama sekali tidak mampu dan tidak bisa memperkaya Aksara Jawa, sebagaimana kedatangan Islam. Hal ini seperti mengingatkan kepada pernyataan Mark R. Woodward, bahwa kekristenan hanya memainkan peran kecil dalam kehidupan keagamaan di Jawa dan praktik-praktik yang dilakukan cenderung mendekati kesyirikan.[21] Jadi, upaya yang dilakukan oleh Bambang Noorsena untuk mengambil benang merah antara kisah Aji Saka sebagai titik pertemuan antara Jawa dan Kristen, hakikatnya hanyalah sebuah fenomena “mengaku-aku” sebagaimana yang sering kita jumpai ada dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu terdapat juga kenyataan bahwa sebagian orang Jawa pada masa lalu juga memiliki aksara yang lain yaitu Huruf Pegon. Huruf Pegon ini merupakan sejumlah karakter huruf Arab yang telah disesuaikan sehingga bisa digunakan untuk menulis dalam Bahasa Jawa. Hal ini juga menunjukkan penerimaan yang lain orang Jawa dalam proses Islamisasi yang terjadi. Fenomena Huruf Pegon ini sebenarnya bukan sekedar terjadi di Jawa saja melainkan berbagai tempat di nusantara. Dalam kebudayaan Melayu penyesuaian huruf Arab dengan bahasa setempat menghasilkan apa yang disebut sebagai tulisan Jawi. Kata Jawi ini merupakan sebutan yang biasanya diberikan oleh orang Arab kepada penduduk di kepulauan nusantara.[22]
Aji Saka berubah menjadi cerita Islam dan keberterimaan Aksara Jawa terhadap lafal dari huruf Arab merupakan isyarat bahwa meskipun entitas Jawa terlihat sinkretis namun tidak bisa melepaskan Islam. Agama ini merupakan jiwa Jawa yang sebenarnya.
MANIPULASI DAN MANIPULASI
Apa yang diklaim oleh Bambang Noorsena sebagai titik temu antara Kristen dan Kejawen dalam kisah mitologi Aji Saka di atas, sebenarnya adalah bentuk hasil pertemuan antara Islam dan Jawa. Keberadaan Islam di tanah Jawa telah berperan mengajarkan dan memperkenalkan kisah-kisah tentang para Nabi dan Rasul, termasuk kisah tentang Nabi Isa. Kisah inilah yang kemudian diolah oleh Ranggawarsita untuk menghasilkan karya-karyanya, termasuk Serat Paramayoga yang menceritakan tentang Nabi Isa. Jadi, kisah dalam Serat tersebut sebenarnya lebih tepat diambil berdasarkan inspirasi dari konsep Islam, bukannya Kristen. Oleh karena itu tulisan Bambang Noorsena tersebut bisa dianggap sebagai karya yang mengada-ada belaka sekaligus memaksakan data agar sesuai dengan kehendaknya.
Membaca karya Noorsena tersebut memang memerlukan kehati-hatian. Sebab Bambang Noorsena bukan sekedar melakukan manipulasi melalui serangkaian argumentasinya. Dalam beberapa tempat ia juga “mengakali” sumber referensi yang digunakan. Sebut saja misalnya ungkapan Noorsena ketika menilai karya B.M. Schuurman yang berjudul “Pambijake Kekeraning Ngaurip”, ia menulis: “Meskipun dalam karya dogmatiknya ini Schuurman cukup mengkritisi Kawruh Jawa, tetapi dengan mengambil Layang Dewa Ruci, ia telah menemukan kunci untuk memasuki “pandangan dunia Jawa”. Di sini, pengijilan Kristen menapaki jalan yang sama yang pernah ditempuh dakwah Islam sebelumnya.”[23]
Dalam tulisannya, Bambang Noorsena menyatakan bahwa Schuurman telah menemukan kunci untuk masuk ke dalam alam pikiran Jawa dengan menggunakan Layang Dewa Ruci. Padahal dalam halaman 194 hingga 195 dari bukunya yang berjudul “Pambijake Kekeraning Ngaurip”, B. M. Schuurman justru mengungkapkan bahwa isi Layang Dewa Ruci tersebut sangat tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang menekankan pokok ajarannya pada dosa warisan.[24] Perlu diketahui halaman yang penulis sebutkan tersebut merupakan satu-satunya tempat yang membahas tentang Layang Dewa Ruci dalam karya Schuurman. Dengan demikian hal ini merupakan sebuah bentuk pemalsuan sumber rujukan atau referensi.
Membaca tulisan Bambang Noorsena memang harus diperlakukan sebagaimana mencermati karya-karya orientalis. Sebab meskipun Noorsena dianggap mengembangkan wacana Kristen Timur, dalam hal ini kekristenan Syiria, namun kerangka berfikir dan metodologi yang dimilikinya sepenuhnya mewakili entitas worldview Barat yang parsial, spekulatif, dan dikotomis. Hal yang harus diperhatikan juga dalam membaca karya Noorsena, maupun produk orientalis, pembaca harus memiliki buku yang digunakan sebagai rujukan oleh mereka. Hal ini sebagai sebuah antisipasi agar pembaca tidak diarahkan pada klaim yang sarat kepentingan dan manipulasi sumber referensi.
Lepas dari klaim, manipulasi, dan metodologi terapan yang kurang diperhatikan dalam karya “Menyongsong Ratu Adil: Perjumpaan Kristen dan Kejawen”, karya Bambang Noorsena tersebut tetap harus dihargai, sebab Noorsena hanya mencoba melaksanakan ajaran agamanya secara murni dan konsekwen. Ia nampaknya hanya menjalankan ajaran bahwa : “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat”.[25] Oleh karena itu ketika berhadapan dengan orang Jawa, juga harus nampak “njawani”. Demikian juga: “Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?”.[26]
FOOTNOTE
[1] Karel Steenbrink. Dutch Colonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596-1950. Edisi Indonesia: Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penterjemah oleh Drs. Suryan A. Jamrah, MA. (Penerbit Mizan, Bandung, 1995). Hal. 162
[2] Karel Steenbrink. Kawan dalam pertikaian. Hal 164
[3] Lihat Philip Van Akkeren. Sri and Christ : A Study of Indigenous Church in East Java. (Lutterworth Press, London, 1969). Hal. 17-22
[4] Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 1
[5] DR. Harun Hadiwijono. Kebatinan dan Injil. Cetakan IV. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982). Hal. 163
[6] Lihat DR. C. Groenen. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Cetakan II. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1986). Hal. 19-26. Ayat-ayat Perjanjian Baru sendiri menunjukkan bahwa nama “Kristen” telah dikenal sebelum penulisan karangan-karangan yang kemudian menjadi bagian dari kitab tersebut. Ayat yang dimaksud menceritakan tentang keberadaan Jamaah Kristen awal, antara lain dapat dicermati dalam Kis. 11: 26, 26: 28; Rm. 16:7; dan 1 Ptr. 4:16. Penyebutan nama Kristen ini menunjukkan bahwa karangan-karangan tersebut baru ditulis pada masa setelah keberadaan Jamaah Kristen, pada masa setelah kehidupan Yesus.
[7] Lihat Footnote Bambang Norsena. Menyongsong … Opcit. Hal. 10. Footnote Bambang Noorsena ini sejalan dengan tulisan Dr. C. Groenen, pakar Teologi. Groenen meriwayatkan bahwa awalnya Ibrani yang tidak diketahui identitas pengarangnya ini memang tidak dianggap sebagai kitab suci. Surat Ibrani ini hanya dianggap sebagai karya sastra atau prosa yang berwibawa saja, bukan bagian dari bacaan suci. Baru sekitar tahun 200 M, Patenus, seorang pujangga gereja di Alexandria mengakui bahwa Ibrani merupakan kitab suci karangan Paulus. Dasar yang digunakan oleh Patenus dalam penetapan tidak jelas hingga hari ini. Sekitar 225 M, Origenes menyebutkan bahwa hanya Tuhan saja yang mengetahui penulis Ibrani. Namun meskipun demikian sampai tahun ini, Ibrani belum pasti apakah dianggap masuk sebagai kitab suci atau tidak. Hingga tahun 330 M, umat Kristen kawasan timur menerimanya sebagai kitab suci karangan Paulus. Namun demikian sampai sekitar 400 M, Hieronimus masih mengetahui bahwa orang-orang Roma tidak bersedia menganggap Ibrani sebagai kitab suci dan karangan Paulus. Hieronimus sendiri menerimanya sebagai kitab suci meskipun meragukannya sebagai karangan Paulus. Kemudian baru pada abad kelima, Ibrani diterima umum sebagai kitab suci karya Paulus. Namun keyakinan ini mulai diragukan dengan datangnya era Reformasi pada abad keenam belas. Tradisi yang menganggap Ibrani sebagai karangan Paulus ternyata sangat lemah dan tidak didukung oleh karangan itu sendiri. Karangan ini sebenarnya lebih dekat pada tradisi Yohanes dibandingkan tradisi Paulus. Mengingat kehalusan bahasa dan kemahiran mengarang bias dipastikan penulisnya sangat menguasai dan hidup dalam kebudayaan Yunani. Penulis Ibrani juga diyakini sangat menguasai Perjanjian Lama dalam Bahasa Yunani, sehingga disimpulkan bahwa ia pastilah seorang Kristen keturunan Yahudi. Selengkapnya baca Dr. C. Groenen, OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru … Ibid. Hal. 318-322
[8] Di zaman umat Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan dogma itu, sehingga mudah dapat dipindahkan dalam alam pikiran filsafat dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang jelas dibuat dan dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu ialah yang lazim disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5:7 menurut Vlg.). Sejak abad IV nas itu muncul, mula-mula di daerah negeri Spanyol. Nas itu menyusup ke dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-naskah terjemahan Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani dan disisipkan juga ke dalam naskah-naskah Yunani. Tetapi naskah-naskah yang memuat 1 Yoh 5:7 semua dari zaman belakangan. Lihat DR. C. Groenen, OFM. “He Dynamis Tou Pneumatos” : Kitab Suci tentang Roh Kudus dan Hubungannya dengan Allah Bapa dan Anak Allah. (Lembaga Biblika Indonesia-Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982). Hal. 64
[9] Bambang Noorsena. Menyongsong … Ibid. Hal. 328
[10] Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 209
[11] DR. Andrik Purwasito, DEA. Imajeri India: Studi Tanda dalam Wacana. (Pustaka Cakra, Surakarta, 2002). Hal. 38-39
[12] Lihat Bambang Noorsena. Menyongsong … Ibid. Hal. 43
[13] Bambang Noorsena. Menyongsong ….Ibid. Hal. 210
[14] Philip Van Akkeren. Sri and Christ : A Study of Indigenous Church in East Java. (Lutterworth Press, London,1970). Hal. 46
[15] Lihat Philip Van Akkeren. Sri and … Ibid. Hal. 48. Dikutip oleh Bambang Noorsena. Menyongsong … Opcit. Hal. 210
[16] Lihat Philip Van Akkeren. Sri and … Ibid. Hal. 47
[17] Lihat pembahasan lebih lanjut dalam DR. Andrik Purwasito, DEA. Imajeri …. Hal. 51-52
[18] Lihat DR. Ismail Hamid. Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam. (Penerbit Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989). Hal. 19
[19] Hadiwaratama. Yektosipun Aksara Carakan. Dalam Majalah SASMITA No. 7 Tahun II-April 2008. Hal. 39
[20] Lihat T. Hadisoebroto. Aksara Djawa : Tatanan Panulise Basa Djawa Nganggo Aksara Djawa lan Latin. (NV. Penerbit Pantjawarna, Surakarta, 1956). Hal. 29
[21] Mark R. Woodward. Islam in … Opcit. Hal. 129
[22] Lihat Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. (Penerbit University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972). Hal. 40-43
[23] Bambang Noorsena. Menyongsong … Ibid. Hal. 5
[24] Lihat tulisan DR. B. M. Schuurman. Pambijake Kekeraning Ngaurip. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1968). Hal. 194-195. Pengutipan di atas telah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan sebagai berikut (Pengutipan di atas telah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan) :
Yen miturut rasa Jawa Kuna pernahing kalakuane manungso karo Karsaning Pangeran iku diumpamakake kaya dene wayang ana ing astane dalang. Umpama ing layang Dewa Ruci asurasa mangkene:
“Lir wayang sarireku/ saking dalang polahing ringgit/ minangka panggung jagad/ kelir badanipun/ amolah lamun pinolah/ sapolahe kumedep lawan ningali/ tumindak saking dalang/ Kang Amisesa (benere: kawisesa) amisesa sami/ datan antara pamoring karsa/ jer tanpa rupa-rupane/ wus ana ing sireku”
Dadi terang yen miturut rasa iku, dosa ora ana, awit apa kang dilakoni dening manungsa, iku Pangeran Allah kang nglampahi uga.
…..
Mulane pada diawas, sing sapa nderek marang Gusti Yesus, iku wis ora bisa ngrojongi ing penganggep iku mau. Awit yen nderek marang Gusti Yesus kang dadi pratanda wiwitan, iya iku panalangsa lan prihatin ing ati ana ing pangayunane Pangeran Allah, karana panggawe- panggawene kang wis dilakoni wiwit cilik mula, ora mung kang cara lair dalah cara batin uga. Mula banjur duwe atur marang pangeran kayadene prabu Dawud ing Ms 51:5 mangkene: Awitdene kawula ngarosaken ing panerak kawula saha dosa kawula tansah wonten ngajeng kawula.”
Philip Van Akkeren, orientalis dan misionaris yang lain, juga bergerak dalam kancah yang sama. Ia berupaya menarik kesimpulan bahwa pandangan Jawa sangat menekankan adanya konsep mesianisme. Manusia Jawa, menurut Van Akkeren, memiliki pengharapan yang besar terhadap manifestasi keselamatan yang ditawarkan oleh sosok “ratu adil”. Konsep ratu adil ini kemudian dihubungkan dengan konsep Yesus sebagai Juru Selamat. Konklusinya, Jawa menurut Van Akkeren membutuhkan pertemuan dengan ajaran Kristen. Untuk membuktikan teorinya itu Van Akkeren berargumentasi dengan bentuk pemujaan para petani Jawa era lampau terhadap tokoh Dewi Sri dan Bambang Sadhana yang dikenali sebagai pasangan pelindung padi. Melalui ritus pemujaan Sri-Sadana ini, Van Akkeren menilai bahwa penanaman padi bagi orang Jawa merupakan sebuah ritual ibadah keagamaan, satu bentuk persekutuan, sekaligus persatuan antara sosok ilahi dan sosok manusiawi yang dianggapnya sejajar dengan kehidupan Yesus.[3] Rupanya Van Akkeren melupakan bahwa konsep Sri-Sadana lebih lebih merupakan representasi pandangan yang bersifat mirip dengan hieros-gamos, bukan seperti kehidupan Yesus yang melakukan praktik celibasy sebagaimana konsep Kristen. Keduanya adalah konsep yang sama sekali sangat berbeda secara diametral. Sehingga wacana titik temu antara Jawa dan Kristen yang hendak ketengahkan kepada pembaca, sebenarnya tidak lebih dari sekedar mengada-ada.
Belakangan ini terdapat juga tokoh Kristen yang berusaha menghidupkan kembali teori “perjumpaan” tersebut. Tokoh tersebut adalah Bambang Noorsena, tokoh Kanisah Orthodoks Syiria atau juga dikenal sebagai Kristen Orthodoks Syria (KOS). Buku Bambang Noorsena tersebut rupanya juga sangat bergantung pada pemikiran orientalis Philips Van Akkeren, bukan sekedar sebagai referensi namun menjadi bagian dari kerangka utama pembahasannya. Ia memulai bukunya “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen” dengan pernyataan bahwa iman Kristen seharusnya selalu dihayati dalam konteks pengalaman budaya yang konkret. Injil, menurut Noorsena, juga bukan disampaikan di tempat yang hampa budaya. Konklusinya, selalu ada interaksi antara iman dan kebudayaan.[4]
Pendapat Bambang Noorsena ini sejalan dengan pandangan DR. Harun Hadiwijono, akademisi Kristen, ketika berusaha merumuskan perbedaan definisi antara iman Kristen dan agama Kristen. Menurut Hadiwijono, interaksi iman Kristen dan jawaban manusia terhadap iman itu dalam lingkup adat istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia akan menghasilkan apa yang disebut sebagai Agama Kristen. Dengan demikian, Harun Hadiwijono menyimpulkan bahwa Agama Kristen sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia,[5] terutama sepanjang perjalanan sejarah pembentukan ajarannya.
Pandangan Noorsena bahwa Injil bukan disampaikan dalam suatu tempat yang hampa budaya, juga ada benarnya jika dirujukkan pada sejarah pembentukan kitab Injil. Injil telah mengalami sejarah yang cukup panjang hingga proses pengumpulannya. Kitab ini baru ditulis dan dihimpun pada masa jauh setelah kehidupan Yesus. Bahkan boleh dikatakan bahwa baru ditulis setelah jamaah Kristen mula-mula muncul. Karangan-karangan yang membentuk Perjanjian Baru tidak serta merta dikenal dan diterima umat Kristen sebagai kitab suci.[6]
Penulis karangan-karangan dalam Injil tersebut umumnya tidak pernah diketahui secara pasti identitasnya. Maka tidak mengherankan jika Bambang Noorsena mengungkapkan “proses kebingungan” para ahli tentang Perjanjian Baru, misal pernyataan dalam footnote bukunya bahwa Surat Ibrani awalnya diduga ditulis oleh Rasul Paulus, tetapi para ahli pada masa sekarang ini telah meninggalkan pendapat itu dan menyetujui bahwa surat ini ditulis oleh orang lain yang mempunyai latar belakang Yahudi.[7] Dengan mencermati proses penulisan dan pengumpulan serta penetapannya sebagai kitab suci maka tidak ragu lagi bahwa Injil merupakan kitab yang tidak bisa tidak sulit dilepaskan dari suatu kebudayaan yang melingkupinya.
Contoh lain yang membuktikan hal ini terkait pemunculan dalil trinitas dalam Perjanjian Baru, kitab umat Kristen. DR. C. Groenen OFM, seorang teolog Kristen (Katholik), mengungkapkan bahwa dalil mengenai trinitas merupakan ayat-ayat yang ditambahkan kemudian pada abad IV M setelah umat Kristen mengalami perdebatan panjang seputar eksistensi trinitas.[8] Jadi merupakan sebuah hal yang baru dan bukannya final sejak masa Yesus. Dengan demikian hal ini juga membuktikan bahwa Agama Kristen merupakan agama sejarah yang terbentuk melalui proses sejarah yang panjang dan lama, termasuk dalam diskursus pembentukan basic ketuhanannya. Oleh karena itulah maka juga dapat disebut sebagai agama budaya.
Bermula dari cara pandang bahwa iman dan pekabaran Injil harus bersentuhan dengan persoalan kebudayaan inilah, rupanya Bambang Noorsena bermaksud mengkaji persoalan kejawen dalam perjumpaannya dengan iman Kristen. Sejumlah konsepsi hidup orang Jawa hendak dikaji dengan menggunakan cara pandang Kristiani yang menjadi keyakinannya. Diharapkan hasil kajiannya tersebut akan menjadi sebuah rekomendasi bagi penginjilan di tanah Jawa. Termasuk bahwa manusia Jawa sebenarnya mengharapkan kedatangan sosok mesianis ratu adil, yang dalam bahasa Noorsena hanya bisa dipenuhi dengan kedatangan Yesus.[9] Terkait hal ini nampaknya Bambang Noorsena sangat bergantung pada ide dari Van Akkeren.
Tulisan ini akan mencoba mengupas salah satu pandangan Bambang Noorsena terutama terkait dengan salah satu mitologi yang dianggap sebagai “identitas Jawa” yaitu tentang kisah Aji Saka. Dalam tulisan ini akan diungkapkan upaya manipulatif yang dilakukan oleh tokoh KOS tersebut dalam upayanya untuk menemukan “perjumpaan” antara Kejawen dan Kristen. Tentu saja, apa yang akan penulis bahas hanya terbatas sebagai sebuah bentuk pencermatan dan apresiasi terhadap suatu karya sastra belaka. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan hal ini akan bermanfaat untuk menelusur jati diri Jawa yang sesungguhnya yaitu Islam.
MANIPULASI AJI SAKA VERSI TOKOH KOS
Dalam kajian Sejarah, pengenalan terhadap tulisan seringkali dianggap menandai dimulainya era Sejarah. Dengan kata lain awal sejarah ditandai dengan adanya tulisan. Babak baru pengenalan aksara Jawa seringkali dihubungkan dengan legenda tentang Aji Saka. Dalam cerita oral yang berkembang di masyarakat Aji Saka digambarkan merupakan sosok pendatang yang berasal dari India dan kemudian menciptakan aksara Jawa. Tokoh Aji Saka sendiri dalam sejumlah cerita babad kemudian digambarkan seolah-olah merupakan sosok historis yang menghasung nilai-nilai Jawa. Terkait mitologi Aji Saka ini, rupanya Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria juga hendak mengambil peran untuk menunjukkan bahwa Kejawen dan Kristen memiliki titik temu pada tokoh Aji Saka. Bambang Noorsena, tokoh Kristen Ortodoks Syria, menyebutkan bahwa Aji Saka pernah berpindah agama menjadi Kristen. Menurut Noorsena, Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa dalam karyanya Serat Paramayoga, telah menempatkan Aji Saka sebagai umat Yesus Kristus sehingga mencapai kesempurnaan budi.[10] Nampaknya Noorsena menilai bahwa kisah Aji Saka tersebut merupakan salah satu wujud atau bukti bahwa Kristen dan Kejawen memiliki sebuah titik temu.
Dalam kisah “Aji Saka” diceritakan bahwa Kerajaan Medang Kamulan di Pulau Jawa pernah diperintah oleh seorang raja lalim bernama Prabu Dewata Cengkar. Raja ini memiliki kegemaran memakan daging manusia dengan mencampurkannya ke dalam masakan yang dihidangkan. Kegemaran Sang Raja tersebut sudah tentu berefek buruk kepada rakyatnya yang perlahan-lahan menyusut akibat dimangsa olehnya. Sampai kemudian datanglah seorang pemuda dari India bernama Aji Saka yang diiringkan oleh 2 (dua) orang pembantunya yaitu Dora dan Sembada. Sebelum sampai di tanah Jawa, ketiga orang tersebut sempat singgah di Pulau Majeti. Syahdan salah satu dari pembantunya tersebut kemudian disuruh tinggal di Pulau Majeti dan diberi tugas untuk menjaga keris milik Aji Saka. Keris yang ditinggalkan harus dijaga dan dirawat dengan benar dan tidak boleh diserahkan kepada siapa pun selain kepada Aji Saka, pemiliknya sendiri. Maka berangkatlah kemudian Aji Saka ke Tanah Jawa hanya dengan disertai salah satu ajudannya. Sesampainya di Medang Kamulan, sang Aji Saka kemudian berurusan dengan raja Jawa, Prabu Dewata Cengkar. Tersebutlah bahwa kemudian Dewata Cengkar berhasil dikalahkan dan Aji Saka menggantikannya sebagai raja Jawa di Medang Kamulan.
Kisah tidak hanya berhenti sampai di sini. Aji Saka kemudian mengutus pembantunya untuk mengambil keris yang dititipkan kepada pembantunya yang lain di Pulau Majeti. Rupanya Aji Saka telah lupa akan perintahnya bahwa keris tersebut harus dirinya sendiri yang mengambilnya. Akibatnya kedua pembantunya kemudian terlibat sengketa yang berujung kepada tewasnya kedua belah pihak. Aji Saka kemudian memperingati tewasnya kedua orang pembantu dekatnya dengan menciptakan aksara Jawa yang terdiri dari 20 aksara sebagai berikut:
Ha na ca ra ka = ada utusan
Da ta sa wa la = mereka bertengkar
Pa da ja ya nya = sama-sama kuatnya
Ma ga ba tha nga = akhirnya mati (menjadi bangkai)
Kisah Aji Saka di atas bagi sebagian besar kalangan orang Jawa sering dianggap sebagai salah satu unsur dalam pembentukan identitas orang Jawa. Kisah ini telah melegenda bagi masyarakat Jawa dan sering dianggap sebagai kisah historis. Dalam hal ini mitos Aji Saka ditempatkan sebagai penjelasan adanya proses Indianisasi di Tanah Jawa dan sekaligus pembudayaan orang Jawa dengan mengenal bentuk tulisan baru. Pada perkembangan selanjutnya kisah Aji Saka ini seolah telah menjadi jiwa Jawa itu sendiri.
Kenyataan bahwa kisah Aji Saka telah merasuk menjadi bagian dari jati diri Jawa, hakikatnya merupakan sebuah bentuk keanehan dan penyimpangan. Menurut DR. Andrik Purwasito, kisah Aji Saka ini sebenarnya merupakan produk imajinatif karya Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam cerita ini dapat dijelaskan sejumlah kepentingan bersifat hegemonik dari penjajahan atas bangsa Indonesia. Dalam penelitiannya yang telah dibukukan “Imajeri India, Studi Tanda dalam Wacana” menjelaskan bahwa melalui wacana Aji Saka, Belanda tidak saja berhasil menjelaskan terjadinya Indianisasi (faktor India) yang telah merasuk ke dalam kebudayaan Jawa. Melainkan juga berhasil membangun dunia imajiner bangsa Indonesia. Publikasi dunia imaji India tersebut terus dilakukan oleh para peneliti Belanda, dengan menempatkan India sebagai bangsa superior berhadap-hadapan dengan bangsa Jawa yang inferior. Wacana Aji Saka dikembangkan oleh Belanda dengan menempatkan penduduk pribumi di Nusantara sebagai bangsa terjajah, primitif, biadab, dan tidak berbudaya berhadapan dengan India yang telah memiliki budaya lebih tinggi.[11] Andrik Purwasito menegaskan bahwa wacana ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar dunia imajiner belaka.
Pada perkembangan selanjutnya cerita tentang tokoh Aji Saka tersebut mengalami rancang ulang sehingga tidak lagi menjadi sosok India yang ‘menjajah’ Jawa. Jawa sendiri menjadi lebih sukar untuk ditaklukkan kepentingan Belanda yang bersifat hegemonik tersebut. Sejumlah karya sastra telah menghidupkan Aji Saka dalam kepentingan-kepentingan yang lebih baru. Dengan mencermati pendapat DR. Andrik Purwasito lebih lanjut terhadap proses masuknya Aji Saka ke dalam kancah kesusastraan Jawa, maka fenomena masuknya Aji Saka menjadi Kristen adalah hal yang wajar. Sebab, awalnya sosok “Aji Saka” merupakan alat hegemoni Belanda yang dalam segi spriritualitas merupakan perwujudan adari apa yang disebut Bambang Noorsena sebagai Kristen Londo.[12] Boleh dikatakan bahwa sebenarnya Aji Saka adalah seorang “Kristen” yang menyaru atau menyamar sebagai orang “India” dengan misi untuk ‘membudayakan’ Jawa atau dengan kata lain merupakan proses penaklukan.
Namun demikian, perubahan terhadap kisah Aji Saka selanjutnya tidak selalu memperlihatkan sikap yang demikian lagi. Kisah Nabi Isa yang ada dalam serat karya Ranggawarsita lebih banyak dibentuk oleh inspirasi konsep-konsep dari Islam, bukannya dari Kristen. Oleh karena itu konsep yang digunakan dalam menggambarkan Nabi Isa juga merupakan konsep Islam, bukan konsep Kristen. Bahkan Noorsena sendiri nampaknya, dengan mengutip pendapat Van Akkeren, mengakui bahwa Aji Saka, dalam cerita tersebut, akhirnya justru masuk Islam dan menjadi salah satu sahabat Nabi Muhammad saw.[13]
Jika diamati dalam buku Philip Van Akkeren, yang dikutip oleh Bambang Noorsena, tersebut justru menyebutkan bahwa dalam karya Ranggawarsita diceritakan bahwa ketika Aji Saka berguru pada Ngusman Ngaji, sang guru tersebut berpesan kepada Aji Saka (nama lainnya dalam cerita: Jaka Sengkala) agar selalu melayani Tuhan dengan jalan mengabdi dan mengikuti ajaran Nabi Terakhir yang akan dilahirkan di Makkah, yaitu Nabi Muhammad saw, bukan menjadi pengikut atau sahabat Nabi Isa. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Van Akkeren sebagai berikut:
“One day Sengkala asks his spiritual leader to become one of the closer companions of the prophet Isa, in order to increase the peace in his heart. The priest answers: ‘This is cannot allow, because then you would have to devote yourself entirely to the service of the Lord, but that is not your vocation. Providence has intended a long cereer for you. It is intended that you shall populate the long island of Java which lies to the south-east of India. Do not forget my prophecy. Later there will be another prophet from God, the last one, who shall be unequalled, namely Muhammad, the Mesengger of God, who has been given the Light of the world and who will be created in Mecca. You will be his close companion (sahabat).’”[14]
(“Suatu hari Sengkala (=Aji Saka) meminta pemimpin spiritualnya untuk menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi Isa, untuk meningkatkan kedamaian dalam hatinya. Sang Imam menjawab: ‘Hal ini tidak dapat kuijinkan, sebab engkau kelak harus mengabdikan dirimu sepenuhnya bagi pelayanan Tuhan, tetapi itu bukan panggilanmu. Takdir menghendaki engkau menempuh karir yang panjang. Telah ditentukan bahwa engkau akan menghuni Pulau Jawa yang panjang, yang terletak di sebelah tenggara India. Jangan engkau melupakan nubuatan ini. Dikemudian hari akan ada nabi lain dari Allah, yang terakhir, yang tidak ada bandingannya, bernama Muhammad, utusan Allah, yang telah memberi cahaya bagi dunia dan dilahirkan di Makkah. Engkau akan menjadi sahabat dekatnya”).
Dengan demikian, perjalanan Jaka Sengkala atau Aji Saka tersebut bersentuhan dengan Dewa Wisnu, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, sebenarnya merupakan sebuah kronologi yang diciptakan oleh Ranggawarsita untuk menunjukkan perjalanan hidup Aji Saka sampai pada akhirnya memeluk agama Islam. Pencarian ilmunya yang dilakukan dengan Nabi Isa, bukan menunjukkan bahwa Aji Saka adalah seorang Kristen. Sebab penggambaran sosok Nabi Isa yang digunakan dalam cerita tersebut secara kuat lebih banyak terinspirasi oleh konsep Islam.
Pernyataan Philip Van Akkeren yang kemudian dikutip oleh Noorsena bahwa Ranggawarsita menyisihkan simpati yang besar bagi Kristus[15] (dalam hal ini berhubungan dengan konsep kekristenan) adalah statemen yang menyesatkan. Statemen tersebut didasarkan pada kedekatan hubungan yang terjalin antara Isa dengan Aji Saka. Jika diamati kronologis kisah pertemuan antara Nabi Isa dan Aji Saka dalam karya sastra itu terjadi sebelum masa kelahiran Nabi Muhammad. Jadi, mau tidak mau dia harus bersentuhan dulu dengan ajaran Nabi Isa, salah seorang rasul dalam ajaran Islam, sambil menanti masa kedatangan nabi akhir zaman (Muhammad saw) sebagaimana pesan yang sudah diterima dari gurunya (Ngusman Ngaji). Ranggawarsita sendiri bahkan menggambarkan bahwa Nabi Isa ternyata tidak memiliki kekuatan supernatural yang cukup ampuh. Diceritakan bahwa suatu ketika murid-murid Nabi Isa mendesak beliau untuk membuat burung merpati dari tanah liat yang mengandung gas beracun. Merpati itu kemudian memanggil para Dewa di India untuk menghadap Nabi Isa. Para dewa kemudian menyerang merpati itu namun kalah karena sang merpati digambarkan menggunakan gas beracun yang dimilikinya. Para Dewa yang kalah kemudian melarikan diri ke Jawa. Merpati itu kemudian mengejar para Dewa. Namun pengejaran sang merpati kemudian berakhir karena “ciptaan Isa” tersebut bisa ditembak jatuh oleh Dewa Wisnu di atas pulau Sumatra. Lantas digambarkan bahwa kemudian para Dewa kembali ke India lagi.[16]
Harus dipahami pula bahwa mitologi Aji Saka dalam versi Ranggawarsita tersebut bukan merupakan akhir dari seluruh kisah. R. Tanaya, misalnya seorang pujangga Jawa yang juga banyak memperkenalkan ulang karya-karya Ranggawarsita, justru mengubah versi Aji Saka bukan lagi berasal dari India melainkan tokoh cerita yang berasal dari Arab yang sebelumnya bernama Jaka Sengkala. Hadirnya versi ini menunjukkan bahwa wacana Aji Saka merupakan bagian dari proses transfomasi penting dalam rangka pembudayaan Jawa. Dalam proses pembudayaan tersebut diceritakan bahwa sebelumnya seorang Sultan dari Timur Tengah bernama Sultan Algabah menerima petunjuk agar membudayakan bumi Jawa. Maka sang sultan kemudian mengutus Aji Saka atau Jaka Sengkala untuk memimpin rombongan beranggotakan 20.000 orang. Namun rombongan tersebut kemudian banyak yang mati akibat wabah penyakit dan hanya tersisa beberapa ratus orang saja yang kemudian kembali ke negara asalnya. Maka kemudian Aji Saka diceritakan memimpin kembali ekspedisi kedua yang didampingi oleh Patih Amiru Syamsu. Misi kedua ini nampaknya berhasil. Kemudian Sultan Algabah melanjutkan dengan ekspedisi ketiga untuk membudayakan Jawa di bawah pimpinan Said Jamhur Muharram yang langsung menuju ke Kediri, Jawa Timur.[17] DR. Ismail Hamid, pakar sastra di University Kebangsaan Malaysia, menggarisbawahi bahwa dalam Serat Aji Saka Angajawi bahkan diperoleh gambaran tentang Aji Saka sebagai pengikut Nabi Muhammad saw yang datang dari Makkah dan berangkat ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Agama Islam.[18]
Keberadaan cerita di atas menunjukkan bahwa proses-proses untuk menghegemoni Jawa dengan memperkenalkan mitos syarat kepentingan, sebagaimana dilakukan oleh Belanda, tidak selalu akan berhasil. Justru dalam karya sastra Jawa kemudian muncul sebuah ‘perlawanan’ dari dalam. Wujud perlawanan tersebut menempatkan Arab yang identik dengan Islam sebagai simbol pembudayaan tanah Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah sedemikian lekat di hati orang Jawa. Cerita Aji Saka yang pada awalnya digunakan sebagai alat untuk mengukuhkan teori Indianisasi, pada akhirnya justru mengalami Jawanisasi. Proses Jawanisasi yang berlangsung tersebut tidak lain adalah proses Islamisasi. Sehingga tidak salah jika diungkapkan bahwa jiwa Jawa adalah Islam.
Pengungkapan mitologi yang dilakukan oleh Bambang Noorsena bukan saja tidak mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan harapannya, namun juga kurang lengkap dan tidak tuntas. Bambang Noorsena hanya berhenti pada kisah mitosnya saja, sebab hal itu dimungkinkan memberikan “keuntungan” dengan pendekatan yang dilakukannya. Padahal inti sebenarnya dari mitos tersebut justru terletak pada Aksara Jawa yang dalam mitologi tersebut dianggap sebagai ciptaan sang Aji Saka. Di atas telah disebutkan bahwa Aksara Jawa “yang diciptakan” Aji Saka berjumlah 20 buah, karena disesuaikan dengan kerangka mitologi yang diciptakan. Namun menurut Zoetmulder yang dikutip oleh Hadiwaratama, jika dihitung sebenarnya aksara Jawa jumlahnya lebih dari 50 buah.[19]
Diantara aksara yang berjumlah lebih dari 50 buah tersebut terdapat kumpulan huruf yang disebut sebagai Aksara Rekan. Aksara Rekan yaitu huruf yang digunakan untuk menulis kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Huruf yang disebut Aksara Rekan tersebut antara lain adalah kha, dza, fa, za, dan gha.[20] Dengan menggunakan huruf-huruf tersebut maka aksara Jawa dapat dengan mudah digunakan untuk menuliskan istilah-istilah yang berasal dari konsep Islam seperti khabar, faham, zakat, dzikir, ghanimah, dan lain sebagainya.
Penyesuaian yang dilakukan Aksara Jawa untuk bisa menerima sejumlah pelafalan yang ada dalam huruf Arab ini menunjukkan, bahwa manusia Jawa pada dasarnya bisa dan siap menerima Islam lengkap dengan sejumlah terminologi yang dimilikinya. Kalangan orientalis penganut “teori pengaruh” yang menganggap bahwa Islam di Jawa telah mengalami “penundukan” oleh konsep–konsep Jawa pra-Islam, tentu akan mengalami kebuntuan ketika menghadapi fenomena ini. Bambang Noorsena juga tidak bisa menyatakan bahwa hal ini merupakan bukti bahwa Islam ketika berada di Jawa sebelumnya telah terpengaruh oleh ajaran Hindhu dan Budha. Jelas-jelas, perkembangan aksara Jawa ini menunjukkan proses keberterimaan Jawa terhadap Islam.
Jika teori Aji Saka di atas masih hendak dipaksakan sebagai titik temu antara Kejawen dan Kristen, maka mestinya juga terjadi sebuah konsekuensi logis terhadap aksara Jawa. Misalnya saja, aksara Jawa kemudian bisa secara tepat digunakan untuk menuliskan sejumlah istilah-istilah dari Barat atau nama-nama yang berhubungan dengan ajaran Kristen. Sebut saja misalnya kata-kata Christ, Xaverius, Ximenes, Jehovah, Vatican, dan lain sebagainya ternyata tidak dapat ditulis dengan tepat dalam aksara Jawa. Seandainya tetap dipaksakan ditulis sekalipun, maka kata-kata tersebut hurufnya akan “ditundukkan” dan luluh mengikuti aturan penulisan Aksara Jawa. Lebih jelasnya, kedatangan Kristen di nusantara sama sekali tidak mampu dan tidak bisa memperkaya Aksara Jawa, sebagaimana kedatangan Islam. Hal ini seperti mengingatkan kepada pernyataan Mark R. Woodward, bahwa kekristenan hanya memainkan peran kecil dalam kehidupan keagamaan di Jawa dan praktik-praktik yang dilakukan cenderung mendekati kesyirikan.[21] Jadi, upaya yang dilakukan oleh Bambang Noorsena untuk mengambil benang merah antara kisah Aji Saka sebagai titik pertemuan antara Jawa dan Kristen, hakikatnya hanyalah sebuah fenomena “mengaku-aku” sebagaimana yang sering kita jumpai ada dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu terdapat juga kenyataan bahwa sebagian orang Jawa pada masa lalu juga memiliki aksara yang lain yaitu Huruf Pegon. Huruf Pegon ini merupakan sejumlah karakter huruf Arab yang telah disesuaikan sehingga bisa digunakan untuk menulis dalam Bahasa Jawa. Hal ini juga menunjukkan penerimaan yang lain orang Jawa dalam proses Islamisasi yang terjadi. Fenomena Huruf Pegon ini sebenarnya bukan sekedar terjadi di Jawa saja melainkan berbagai tempat di nusantara. Dalam kebudayaan Melayu penyesuaian huruf Arab dengan bahasa setempat menghasilkan apa yang disebut sebagai tulisan Jawi. Kata Jawi ini merupakan sebutan yang biasanya diberikan oleh orang Arab kepada penduduk di kepulauan nusantara.[22]
Aji Saka berubah menjadi cerita Islam dan keberterimaan Aksara Jawa terhadap lafal dari huruf Arab merupakan isyarat bahwa meskipun entitas Jawa terlihat sinkretis namun tidak bisa melepaskan Islam. Agama ini merupakan jiwa Jawa yang sebenarnya.
MANIPULASI DAN MANIPULASI
Apa yang diklaim oleh Bambang Noorsena sebagai titik temu antara Kristen dan Kejawen dalam kisah mitologi Aji Saka di atas, sebenarnya adalah bentuk hasil pertemuan antara Islam dan Jawa. Keberadaan Islam di tanah Jawa telah berperan mengajarkan dan memperkenalkan kisah-kisah tentang para Nabi dan Rasul, termasuk kisah tentang Nabi Isa. Kisah inilah yang kemudian diolah oleh Ranggawarsita untuk menghasilkan karya-karyanya, termasuk Serat Paramayoga yang menceritakan tentang Nabi Isa. Jadi, kisah dalam Serat tersebut sebenarnya lebih tepat diambil berdasarkan inspirasi dari konsep Islam, bukannya Kristen. Oleh karena itu tulisan Bambang Noorsena tersebut bisa dianggap sebagai karya yang mengada-ada belaka sekaligus memaksakan data agar sesuai dengan kehendaknya.
Membaca karya Noorsena tersebut memang memerlukan kehati-hatian. Sebab Bambang Noorsena bukan sekedar melakukan manipulasi melalui serangkaian argumentasinya. Dalam beberapa tempat ia juga “mengakali” sumber referensi yang digunakan. Sebut saja misalnya ungkapan Noorsena ketika menilai karya B.M. Schuurman yang berjudul “Pambijake Kekeraning Ngaurip”, ia menulis: “Meskipun dalam karya dogmatiknya ini Schuurman cukup mengkritisi Kawruh Jawa, tetapi dengan mengambil Layang Dewa Ruci, ia telah menemukan kunci untuk memasuki “pandangan dunia Jawa”. Di sini, pengijilan Kristen menapaki jalan yang sama yang pernah ditempuh dakwah Islam sebelumnya.”[23]
Dalam tulisannya, Bambang Noorsena menyatakan bahwa Schuurman telah menemukan kunci untuk masuk ke dalam alam pikiran Jawa dengan menggunakan Layang Dewa Ruci. Padahal dalam halaman 194 hingga 195 dari bukunya yang berjudul “Pambijake Kekeraning Ngaurip”, B. M. Schuurman justru mengungkapkan bahwa isi Layang Dewa Ruci tersebut sangat tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang menekankan pokok ajarannya pada dosa warisan.[24] Perlu diketahui halaman yang penulis sebutkan tersebut merupakan satu-satunya tempat yang membahas tentang Layang Dewa Ruci dalam karya Schuurman. Dengan demikian hal ini merupakan sebuah bentuk pemalsuan sumber rujukan atau referensi.
Membaca tulisan Bambang Noorsena memang harus diperlakukan sebagaimana mencermati karya-karya orientalis. Sebab meskipun Noorsena dianggap mengembangkan wacana Kristen Timur, dalam hal ini kekristenan Syiria, namun kerangka berfikir dan metodologi yang dimilikinya sepenuhnya mewakili entitas worldview Barat yang parsial, spekulatif, dan dikotomis. Hal yang harus diperhatikan juga dalam membaca karya Noorsena, maupun produk orientalis, pembaca harus memiliki buku yang digunakan sebagai rujukan oleh mereka. Hal ini sebagai sebuah antisipasi agar pembaca tidak diarahkan pada klaim yang sarat kepentingan dan manipulasi sumber referensi.
Lepas dari klaim, manipulasi, dan metodologi terapan yang kurang diperhatikan dalam karya “Menyongsong Ratu Adil: Perjumpaan Kristen dan Kejawen”, karya Bambang Noorsena tersebut tetap harus dihargai, sebab Noorsena hanya mencoba melaksanakan ajaran agamanya secara murni dan konsekwen. Ia nampaknya hanya menjalankan ajaran bahwa : “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat”.[25] Oleh karena itu ketika berhadapan dengan orang Jawa, juga harus nampak “njawani”. Demikian juga: “Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?”.[26]
FOOTNOTE
[1] Karel Steenbrink. Dutch Colonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596-1950. Edisi Indonesia: Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penterjemah oleh Drs. Suryan A. Jamrah, MA. (Penerbit Mizan, Bandung, 1995). Hal. 162
[2] Karel Steenbrink. Kawan dalam pertikaian. Hal 164
[3] Lihat Philip Van Akkeren. Sri and Christ : A Study of Indigenous Church in East Java. (Lutterworth Press, London, 1969). Hal. 17-22
[4] Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 1
[5] DR. Harun Hadiwijono. Kebatinan dan Injil. Cetakan IV. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982). Hal. 163
[6] Lihat DR. C. Groenen. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Cetakan II. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1986). Hal. 19-26. Ayat-ayat Perjanjian Baru sendiri menunjukkan bahwa nama “Kristen” telah dikenal sebelum penulisan karangan-karangan yang kemudian menjadi bagian dari kitab tersebut. Ayat yang dimaksud menceritakan tentang keberadaan Jamaah Kristen awal, antara lain dapat dicermati dalam Kis. 11: 26, 26: 28; Rm. 16:7; dan 1 Ptr. 4:16. Penyebutan nama Kristen ini menunjukkan bahwa karangan-karangan tersebut baru ditulis pada masa setelah keberadaan Jamaah Kristen, pada masa setelah kehidupan Yesus.
[7] Lihat Footnote Bambang Norsena. Menyongsong … Opcit. Hal. 10. Footnote Bambang Noorsena ini sejalan dengan tulisan Dr. C. Groenen, pakar Teologi. Groenen meriwayatkan bahwa awalnya Ibrani yang tidak diketahui identitas pengarangnya ini memang tidak dianggap sebagai kitab suci. Surat Ibrani ini hanya dianggap sebagai karya sastra atau prosa yang berwibawa saja, bukan bagian dari bacaan suci. Baru sekitar tahun 200 M, Patenus, seorang pujangga gereja di Alexandria mengakui bahwa Ibrani merupakan kitab suci karangan Paulus. Dasar yang digunakan oleh Patenus dalam penetapan tidak jelas hingga hari ini. Sekitar 225 M, Origenes menyebutkan bahwa hanya Tuhan saja yang mengetahui penulis Ibrani. Namun meskipun demikian sampai tahun ini, Ibrani belum pasti apakah dianggap masuk sebagai kitab suci atau tidak. Hingga tahun 330 M, umat Kristen kawasan timur menerimanya sebagai kitab suci karangan Paulus. Namun demikian sampai sekitar 400 M, Hieronimus masih mengetahui bahwa orang-orang Roma tidak bersedia menganggap Ibrani sebagai kitab suci dan karangan Paulus. Hieronimus sendiri menerimanya sebagai kitab suci meskipun meragukannya sebagai karangan Paulus. Kemudian baru pada abad kelima, Ibrani diterima umum sebagai kitab suci karya Paulus. Namun keyakinan ini mulai diragukan dengan datangnya era Reformasi pada abad keenam belas. Tradisi yang menganggap Ibrani sebagai karangan Paulus ternyata sangat lemah dan tidak didukung oleh karangan itu sendiri. Karangan ini sebenarnya lebih dekat pada tradisi Yohanes dibandingkan tradisi Paulus. Mengingat kehalusan bahasa dan kemahiran mengarang bias dipastikan penulisnya sangat menguasai dan hidup dalam kebudayaan Yunani. Penulis Ibrani juga diyakini sangat menguasai Perjanjian Lama dalam Bahasa Yunani, sehingga disimpulkan bahwa ia pastilah seorang Kristen keturunan Yahudi. Selengkapnya baca Dr. C. Groenen, OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru … Ibid. Hal. 318-322
[8] Di zaman umat Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan dogma itu, sehingga mudah dapat dipindahkan dalam alam pikiran filsafat dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang jelas dibuat dan dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu ialah yang lazim disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5:7 menurut Vlg.). Sejak abad IV nas itu muncul, mula-mula di daerah negeri Spanyol. Nas itu menyusup ke dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-naskah terjemahan Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani dan disisipkan juga ke dalam naskah-naskah Yunani. Tetapi naskah-naskah yang memuat 1 Yoh 5:7 semua dari zaman belakangan. Lihat DR. C. Groenen, OFM. “He Dynamis Tou Pneumatos” : Kitab Suci tentang Roh Kudus dan Hubungannya dengan Allah Bapa dan Anak Allah. (Lembaga Biblika Indonesia-Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982). Hal. 64
[9] Bambang Noorsena. Menyongsong … Ibid. Hal. 328
[10] Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 209
[11] DR. Andrik Purwasito, DEA. Imajeri India: Studi Tanda dalam Wacana. (Pustaka Cakra, Surakarta, 2002). Hal. 38-39
[12] Lihat Bambang Noorsena. Menyongsong … Ibid. Hal. 43
[13] Bambang Noorsena. Menyongsong ….Ibid. Hal. 210
[14] Philip Van Akkeren. Sri and Christ : A Study of Indigenous Church in East Java. (Lutterworth Press, London,1970). Hal. 46
[15] Lihat Philip Van Akkeren. Sri and … Ibid. Hal. 48. Dikutip oleh Bambang Noorsena. Menyongsong … Opcit. Hal. 210
[16] Lihat Philip Van Akkeren. Sri and … Ibid. Hal. 47
[17] Lihat pembahasan lebih lanjut dalam DR. Andrik Purwasito, DEA. Imajeri …. Hal. 51-52
[18] Lihat DR. Ismail Hamid. Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam. (Penerbit Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989). Hal. 19
[19] Hadiwaratama. Yektosipun Aksara Carakan. Dalam Majalah SASMITA No. 7 Tahun II-April 2008. Hal. 39
[20] Lihat T. Hadisoebroto. Aksara Djawa : Tatanan Panulise Basa Djawa Nganggo Aksara Djawa lan Latin. (NV. Penerbit Pantjawarna, Surakarta, 1956). Hal. 29
[21] Mark R. Woodward. Islam in … Opcit. Hal. 129
[22] Lihat Syed Muhammad Naguib Al-Attas. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. (Penerbit University Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972). Hal. 40-43
[23] Bambang Noorsena. Menyongsong … Ibid. Hal. 5
[24] Lihat tulisan DR. B. M. Schuurman. Pambijake Kekeraning Ngaurip. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1968). Hal. 194-195. Pengutipan di atas telah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan sebagai berikut (Pengutipan di atas telah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan) :
Yen miturut rasa Jawa Kuna pernahing kalakuane manungso karo Karsaning Pangeran iku diumpamakake kaya dene wayang ana ing astane dalang. Umpama ing layang Dewa Ruci asurasa mangkene:
“Lir wayang sarireku/ saking dalang polahing ringgit/ minangka panggung jagad/ kelir badanipun/ amolah lamun pinolah/ sapolahe kumedep lawan ningali/ tumindak saking dalang/ Kang Amisesa (benere: kawisesa) amisesa sami/ datan antara pamoring karsa/ jer tanpa rupa-rupane/ wus ana ing sireku”
Dadi terang yen miturut rasa iku, dosa ora ana, awit apa kang dilakoni dening manungsa, iku Pangeran Allah kang nglampahi uga.
…..
Mulane pada diawas, sing sapa nderek marang Gusti Yesus, iku wis ora bisa ngrojongi ing penganggep iku mau. Awit yen nderek marang Gusti Yesus kang dadi pratanda wiwitan, iya iku panalangsa lan prihatin ing ati ana ing pangayunane Pangeran Allah, karana panggawe- panggawene kang wis dilakoni wiwit cilik mula, ora mung kang cara lair dalah cara batin uga. Mula banjur duwe atur marang pangeran kayadene prabu Dawud ing Ms 51:5 mangkene: Awitdene kawula ngarosaken ing panerak kawula saha dosa kawula tansah wonten ngajeng kawula.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar